Telah lama Indonesia berada dalam kondisi darurat sampah. Untuk sampah plastik saja, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menyebutkan limbah plastik Indonesia mencapai 66 juta ton per tahun. Sementara itu, tiga tahun sebelumnya, studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan sekitar 0,26 juta-0,59 juta ton plastik ini mengalir ke laut. Kondisi itu tak bisa terus dibiarkan. Tak cukup juga hanya tergantung pada upaya pemerintah saja.
Ingin ikut bagian dari penanganan darurat sampah, Arky Gilang Wahab, seorang alumnus Teknik Geodesi dari ITB, terjun dalam penanganan sampah di Banyumas pada tahun 2018. “Ada masalah cukup besar, Banyumas darurat sampah, TPA longsor didemo warga. Sampah di kota ngga diambil, akhirnya ada yang numpuk di alun-alun, di gor, semua dikumpulkan disana,” ujar Arky menuturkan alasan awal Green Prosa, lembaganya turut berkontribusi dalam menyelesaikan masalah sampah Banyumas.
Yah, Kabupaten Banyumas pernah menghadapi kondisi darurat sampah pada tahun 2018 ketika TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas didemo dan ditutup oleh warga sekitar. Rapat darurat sampah yang digelar oleh pemerintah kabupaten (Pemkab) Banyumas sempat deadlock dan tidak menemukan solusi. Ujungnya, pemkab mengirimkan pesan berantai melalui whatsapp (WA) kepada seluruh RT dan RW di daerah perkotaan mengenai kondisi darurat sampah akibat penutupan TPA Kaliori.
Arky melihat kondisi itu tidak bisa terus dibiarkan. Hingga pada tahun yang sama, dia dan rekan-rekannya di Green Prosa, sebuah startup konservasi lingkungan, mulai melakukan riset pengelolaan sampah.”Kemudian sedikit demi sedikit, awalnya kami kelola semua sampah organik dan anorganik, tapi pada tahun 2019 kami putuskan hanya mengatasi sampah organik saja karena komposisi sampah lebih besar yang organik 50-60%,” beber pria berkacamata itu. Selain komposisinya yang lebih besar, Arky menilai jarang orang peduli dengan keberadaan sampah organik.
“Kami pikir, bila kami fokus mengambil sampah anorganik maka teman-teman pemulung akan terputus ladang rezekinya,” bebernya mengenang awal mula lembaganya mengangkut sampah organik untuk membantu Pemkab Banyumas.
Bekerja sama dengan empat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dia mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. “Tapi ini butuh lahan besar dan waktu yang lama sehingga ujungnya jadi ngga efektif,” keluhnya. Untuk mengatasi masalah ini, dia dan rekan-rekannya akhirnya memutuskan untuk mempercepat penguraian sampah organik dengan menggunakan lalat jenis tentara hitam (black soldier fly). “Kami putuskan untuk menggunakan Maggot yang bisa dibilang belatung atau larva black soldier fly yang dalam waktu sehari mereka bisa menguraikan sampah hingga 4-5 kali dari berat tubuhnya,” tuturnya dengan mimik serius.
Jadikan Pemulung Pahlawan Perangi Sampah
Sadar akan pentingnya peran para pemulung, Arky dan kawan-kawannya mengembangkan model bisnis untuk pengolahan sampah bersama dengan para mitra KSM mereka.
Diapun menuturkan, sampah yang diangkut dari pelanggan kemudian dibawa ke lokasi pemilahan untuk diambil sampah organiknya, kemudian diolah menjadi pupuk organik dan maggot untuk pakan ternak.
Ada tiga lokasi pemilahan sampah, yakni di Desa Karangcegak kecamatan sumbang, Desa Sokaraja Kulon Kecamatan Sokaraja, dan Kelurahan Teluk di Purwokerto Selatan.
“Lalu kami kolaborasi dengan kelompok tani, karena sekarang pupuk organik mahal 3-4 ribu yang non subsidi, pupuk kimia 14-15 ribu. Kami jual pupuk organik maksimal 1000 perak, tapi pola jualannya kami ajak kelompok tani (reseller), mereka jual 1500 rupiah per kilo),” jelas Arky tentang system bisnis turunan dari pengangkutan sampah di Kabupaten Purwakarta. Dampak dari system bisnis ini, dia menyebutkan adanya ekonomi sirkular karena petani sayuran dapat menurunkan ongkos produksi karena menggunakan pupuk organik yang lebih murah sehingga harga sayurpun bisa lebih murah.
Untuk mempermudah proses pemilahan sampah, Arky mengatakan bahwa Green Prosa telah membuat mesin pemilah sampah sehingga tidak manual.
Dengan model bisnis semacam itu, Arky mengklaim ada 250-an orang lebih penerima manfaat langsung. Sementara itu, penerima manfaat tidak langsungnya ada 30 ribuan. Mereka adalah pelanggan layanan pengangkutan sampah KSM mitra-mitranya, yakni pedagang pasar, pemilik hotel, rumah sakit, beberapa obyek vital milik pemerintah, kelompok tani, dan peternak unggas.
Seluruh proses pengangkutan sampah ini dilayani oleh KSM mitra Green Prosa. “Di dalam kepengurusan KSM ada 115 orang yang terlibat untuk pengambilan dan pemilahan sampah organik,” ujar Arky. Meski memiliki peran besar, ternyata menurutnya, para pengangkut dan pemilah sampah memperoleh penghasilan pokok dibawah UMR (Upah Minimum Regional). “Penghasilan yang kami dapatkan dari pelanggan jauh dibawah UMR, tapi Alhamdulillah teman-teman happy karena mereka awalnya kerja serabutan, tapi akhirnya bisa punya penghasilan tetap per bulan,” jelasnya.
Jumlah pekerja yang terlibat dalam proses pengangkutan dan pemilahan sampah, menurut Arky, kian bertambah saat terjadi Pandemi Covid-19. “Jumlah KSM bertambah saat pandemi, sebelum pandemi kami kesulitan cari tenaga kerja. Kemarin, kami buka lowongan kerja dengan gaji antara 800 ribu-1 juta, ada 700 orang yang mendaftar,” katanya. Fenomena ini menurut pria berkacamata itu karena banyak warga Banyumas yang awalnya merantau tapi karena pandemi jadi kehilangan pekerjaan sehingga akhhirnya pulang kampung.
Menyadari urgensi pengelolaan sampah di wilayahnya serta potensi untuk membuka lapangan pekerjaan baru, Arky dan kawan-kawannya ingin mengubah mindset para pemulung serta pelanggan mereka. Dia ingin masyarakat menyadari bahwa sampah yang berbau bila diolah selain memberikan dampak positif bagi lingkungan,
juga dapat mendatangkan keuntungan finansial. “Kami jadikan mereka (pemulung) anggota KSM yang juga dapat pembinaan dari dinas terkait,” kata Arky yang juga ketua duta petani milenial Banyumas itu.
Hingga kini, dia mengestimasi bahwa pihaknya telah berhasil mengelola sampah organik di Kabupaten Purwokerto dan sekitarnya sebanyak 10–12-ton sehari. Dari jumlah itu, dia mengatakan rata-rata saat ini para mitra KSM-nya telah melayani hampir 6 ribu rumah pelanggan. “Setiap hari kami nambah pelanggan terus, tiap hari ada industri yang masuk,” tambahnya.
Untuk melayani pengambilan sampah, Arky menuturkan, tipping fee awalnya ditentukan besarannya oleh Green Prosa. Namun, nominal tersebut akhirnya ditentukan oleh KSM sendiri. “Restoran dan hotel sudah kita buat tarif, tapi kalau rumah tangga ada yang kita gratiskan, sesuai level ekonomi dari Rp 5 ribu – 20 ribu per bulan,” urainya.
Kendati saat ini jumlah pelanggan terus bertambah, namun dia tak menampik bahwa masih banyak masyarakat yang memandang sebelah mata profesi para pemulung atau pengangkut sampah tersebut. “Dukanya, masih banyak yang merendahkan mereka, maka kami sebut mereka sebagai pengelola sampah bukan pemulung,” keluhnya.
Diapun menceritakan sering mendapatkan komplain dari pelanggan manakala kendaraan angkut sampah yang mereka miliki sedang rusak sehingga telat untuk mengambil sampah.
Padahal, bila dihitung, tipping fee yang diberikan pelanggan rata-rata hanya seribu rupiah per hari. “Istilahnya, mereka (pelanggan) benci tapi rindu, kalau telat dicari, kalau on time tidak ada yang memuji. Kalau masuk lapak aduan Dinas LH, ngga ada yang bilang Alhamdulillah, terima kasih karena sampah kami sudah bersih,” ujarnya lalu tertawa.
Hingga kini, pihak KSM memiliki beberapa armada pengangkut sampah yang dua diantaranya berasal dari bantuan Kementerian PUPR dan satu kendaraan roda tiga dari bantuan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas.
Soal stigma buruk yang dilabelkan kepada para pemungut sampah ini, Arky sendiri mengaku pernah mengalami. “Ngenes secara pribadi banyak, pada awal dulu (kegiatan pengangkutan sampah) saya mencoba untuk nyupiri sendiri, sempat ditertawakan teman yang lagi ngafe saya ambil sampah di kafe itu,” kisahnya.
Bekerja Sama dengan Gerakan Pasti Ingin Mengubah Mindset
Upaya penanganan sampah akan sulit menuai keberhasilan bila tanpa kerja sama dari berbagai pihak. Pada akhir tahun 2021, Arky memutuskan untuk menerima ajakan dari Naning Adiwoso, Ketua Umum Gerakan Pasti (Plastik Akal Sehat untuk Indonesia), dan Variati Johan yang merupakan Sekjen Gerakan Pasti untuk bekerja sama melakukan edukasi dalam mengubah pola pikir masyarakat tentang pentingnya peran para pengangkut dan pemilah sampah. Namun, sebelumnya Green Prosa telah menggelar pelatihan rutin yang diberikan setiap Hari Senin kepada calon mitra & kelompok masyarakat yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Tujuan pelatihan tersebut adalah untuk memberikan edukasi tentang pemilahan sampah dan budidaya Maggot.
“Alhamdulillah bersama dengan Gerakan Pasti, kami ingin punya mindset bahwa kita pengelola sampah tapi bukan sampah, dimulai dari ngasih mereka seragam untuk meningkatkan keamanan, lalu ke sepatu dan helmet,” beber Arky. Dia menambahkan, dengan menggunakan seragam dan alat keamanan yang standar, harapannya ada perubahan image para pengangkut dan pemilah sampah. “Kami mulai mengarahkan ke pelanggan kami di perumahan tentang arti kehadiran kami, maka kami jangan disepelekan,” tukasnya. Selain itu, Arky melanjutkan, Gerakan Pasti juga akan membantu menggalang dana untuk pembangunan satu buah gudang. Rencananya, gudang ini akan dimanfaatkan sebagai lokasi pemilahan sampah.
Terakhir, dalam kesempatan yang sama, Sekjen Gerakan Pasti, Variati Johan mengajak setiap masyarakat untuk berkontribusi dalam penanganan sampah serta mendukung upaya Green Prosa di Banyumas tersebut. “Ini penting, karena sedikit banyak kita pasti menyumbang sampah tetapi kita sudah pasti tidak bisa mengolah sampah sendiri,” ingatnya. Ajakan ini menurutnya bukanlan tanpa dasar. Pasalnya, masalah sampah bukan hanya milik masyarakat di Kabupaten Banyumas semata. (**)