Plastik dan Kehidupan Kita
BAGAIMANA MENYELAMATKAN BUMI SEIRING SEJAHTERAKAN RAKYAT
“Say No to Plastik?” Bisakah kita? Kita perlu berpikir lebih kritis!
Plastik adalah produk yang luar biasa, ringan, kuat, murah, hemat energi untuk diproduksi dan tidak tebang pohon (jauh lebih ‘green’ dari kertas), tetapi memang kalau sudah jadi sampah tidak hancur beratus tahun. Pernakah terlintas sebelumnya bahwa kemana plastik akan berakhir? Setiap negara berbeda-beda sesuai keadaan:
Geo
Economy
Geo
Environment
Geo
Social-Political dan seterusnya
Geo Economy
GDP per kapita rakyat kita ~US$3,800, kurang dari 10% dibandingkan Eropa, Amerika, Jepang, Korea dan negara maju lainnya! Hampir 2 juta atau lebih dari penduduk kita masih di bottom of the pyramid, hanya lulusan SD dan SMP, sehingga kurang pemahaman/pengertian tentang jenis plastik dan akibatnya.
Untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi Indonesia (terutama kelas menengah-bawah), solusi alternatif harus sesuai dengan kemampuan ekonomi serta ketersediannya.
Riset PASTI juga menunjukkan bahwa kelas menengah-bawah menggunakan dan tergantung kepada lebih banyak plastik dibandingkan kelas diatasnya, sehingga dampak dari solusi alternatif yang ada terhadap ekonomi dan keseharian rakyat menengah-bawah lebih besar. Mengganti ke material lain secara membabi buta, selain membebani rakyat (lebih mahal), kehilangan fungsionalitas (kertas tidak bisa mengawetkan makanan), juga tidak lebih hijau (tebang pohon / lebih tinggi CO2 ).
Geo Environment
Sampah di Indonesia berakhir di TPA karena itu paling ekonomis dan Indonesia relatif lebih luas lahannya dibandingkan Eropa. Maka semua sampah yang ke TPA juga harus dapat terurai. Negara kita lembab, dimana matahari bersinar sepanjang tahun dan kaya dengan oksigen, beda dengan negara Eropa yang 4 musim dan kering. Luas area Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan mendatangkan tantangan tersendiri terhadap pengolahan sampah. Solusi alternatif yang dipikirkan perlu menimbang faktor-faktor diatas kesemuanya. Tentunya negara Indonesia dengan Belanda, misalnya, sangatlah berbeda.
Geo Sosial Politik
Ternyata setiap negara, terutama negaranegara maju melihat problema sampah plastik dan pengolahannya sebagai peluang untuk menjual konsep maupun mesin-mesin solusi mereka. Pada saat mereka aktif mendengungdengungkan konsep Circular Economy dan ingin ‘membantu’ membangun kapasitas daur ulang kita, riset global menunjukkan negara-negara maju mengekspor 70% sampah-sampah plastik ke negara berkembang, dan diam-diam banyak membakar sampahnya juga (negara seperti Jepang, Norwegia, dan lainnya, sebenarnya adalah negara insinerator / bakar sampah). Kita harus paham dan tahu konteks kebutuhan kita, agar tidak ‘terjajah’ secara sosial politik dan teknologi, tentang urusan sampah plastik ini. Kalau kita negara TPA (Tempat Pembuangan Akhir) tidak paham ini, bisa-bisa TPA kita penuh sampah luar negeri!